Ghozali Everyday, begitulah nama di sebuah akun NFT miliknya. Belakangan namanya kerap muncul di media sosial, tak lain berisi tentang informasi dirinya yang belum lama jadi miliarder berkat foto selfienya.
Ghozali berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia, lantaran menjual aset Non-Fungible Token berupa foto selfie. Namun bukan soal fotonya yang bikin bingung, sebagian besar justru bertanya bagaimana bisa yang hanya sebuah “Foto Selfie” bisa laku keras.
NFT merupakan sebuah token kriptografi yang mewakili suatu barang dianggap unik. Dengan memiliki aset NFT, maka seperti halnya memiliki karya seni atau barang antik. Simplenya, NFT ibarat sebuah sertifikat digital atas karya tersebut dan bisa dijual oleh pemiliknya.
Hingga detik ini aset NFT yang dimiliki oleh Ghozali yakni 933 yang ditawarkan di marketplace OpenSea. Total tersebut merupakan aset foro selfie milik Ghozali yang diambil setiap hari sejak di tahun 2017 hingga 2021. Bisa dibilang, peristiwa berharga tersebut sebuah keberuntungan untuk Ghozali. Dalam artian, awalnya ia hanya sekedar iseng meletakkan koleksi selfienya di OpenSea sebagai aset NFT.
Sementara aset NFT termahal Ghozali saat ini adalah “Ghozali_Ghozalu #528” yang dihargai 66.346 ETH atau setara Rp 3,1 triliun. Kini NFT foto selfie Ghozali dimiliki oleh “Sonbook”, salah satu username pengguna OpenSea. Diinformasikan, foto tersebut ia beli dari pemilik sebelumnya, yakni NOLRAMISM dengan harga 0,399 ETH (sekitar Rp 18 juta). Lantas apa sebenarnya yang membuat foto selfie Ghozali NFT bisa bernilai mahal?
Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ketua Umum Asosiasi Pedagang (Aspakrindo) & COO Tokocrypto, yakni Teguh Kurniawan Harmanda dengan mengatakan ada tiga faktor yang membuat harga aset NFT mahal atau tinggi.
Pertama, keberadaan unsur langka unik, kedua tentu mempunyai nilai tambah, serta bisa di ditawarkan kepada pemegang NFT berharga tinggi, dan yang ketiga yakni unsur komunitas. Menurut Teguh, NFT yang unik dan langka serta memiliki nilai lebih (additional value) umumnya memang akan mendapatkan harga tinggi.
Dengan kata lain, sesuatu yang unik sangat pantas disebut karya. Jadi mungkin inilah karya seni Ghozali yang tidak terlihat secara langsung kelebihannya. NFT dengan nilai lebih juga bisa ditawarkan kepada kolektor NFT bernilai tinggi.
Selain kedua faktor tersebut, faktor komunitas juga turut berpengaruh pada harga NFT lantaran “karya NFT akan sukses jika dibangun atas minat yang sama dari banyak individu, agar memiliki value” terang Teguh, mengutip Kompas Tekno, Kamis ( 21/1/22). Selain itu, NFT dari seniman atau konten kreator ternama pun melahirkan karya baru juga dinilai dapat meningkatkan harga aset NFT hingga kedepan.
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa kesan unik dan langka pada foro selfie Ghozali menjadi salah satu faktor yang membuat harga NFT meningkat. Hal serupa juga di akui oleh CEO DeBio Network, yakni Pandu Satrowardoyo. Menurutnya, ada nilai unik pada foto selfie Ghozali yang dijadikan aset NFT. Karena, Ghozali melakukan selfie selama bertahun-tahun dan menjadi pionir yang melakukan hal tersebut. Lantas adakah standar harga NFT?
Sistem blockchain sendiri yang secara teknis tidak mengatur standar harga pada NFT, khususnya untuk public blockchain. Ditambahkan oleh Pandu bahwa transaksi NFT yang dilakukan pada sistem tersebut dapat dilakukan siapa pun tanpa perlu izin (permissionless).
Hal ini karena konsep utamanya adalah kepemilikan (sovereignty). Maka, pemilik karya NFT bisa dengan bebas menentukan harga sendiri. Kendati demikian, bukan berarti NFT yang dijual mahal akan terjual begitu saja. Semuanya masih harus menyesuaikan minat dan permintaan pasar/ pembeli.
Seperti kasus Ghozali ini, yang mana NFT foto selfie-nya bisa terjual mahal karena banyak pembeli, sehingga disitu terjadi “konfirmasi harga” dari pasar. Bukan saja soal standar harga, disamping itu sistem blockchain juga tidak mengatur standar produk NFT, sehingga meskipun foto selfie yang bisa dikatakan produk biasa, bisa dijual di marketplace NFT dengan harga yang diinginkan.
“Tidak bisa dibuat standar karena semua NFT itu permissionless, dengan kata lain tidak bisa dibuatkan standar atau aturan harga sama sekali,” imbuh Pandu.
Dikatakan oleh Firman Kurniawan selaku Pakar Budaya dan Komunikasi Digital Universitas Indonesia, menyatakan bahwa tidak ada acuan baku untuk harga produk berbasis blockchain seperti NFT.
Menurutnya, sistem penentuan harga aset NFT dilakukan oleh orang-orang dalam platform terkait, yang mana nilai produk ditentukan oleh muatan informasi. Sederhananya, harga produk NFT ditentukan oleh penjual dan pembeli yang kemudian terjadi kesepatan harga.
“Sistem penentuan harga pada produk berbasis blockchain, termasuk NFT sesungguhnya adalah pemberian nilai yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di dalam jejaring,” pungkas Firman.
“Inilah yang disebut sebagai informasional product. Nilai suatu produk ditentukan oleh muatan informasi yang dilekatkan padanya. Tidak ada acuan bakunya,” Firman melanjutkan. Disamping ini, terjadinya peningkatan harga lantaran orang-orang dalam platform NFT membicarakan produk, sehingga meningkatkan nilai produk itu sendiri. Pada waktu nilai sebuah produk diterima sebagai produk berharga, maka nilai jual pun juga semakin tinggi.
“Ketika penilaian itu diterima sebagai sesuatu yang berharga, maka akan terkereklah harga awal. Produk mengalami kenaikan harga. Interaksi selanjutnya misalnya melibatkan orang tersohor yang turut membeli, NFT Ghozali maka harga akan terus naik,” ungkap Firman.
“Semakin naik akan semakin menarik sehingga diperebutkan. Karena harapannya dapat dijual kembali ketika harga sedang tinggi-tingginya, dan tentu itu membawa keuntungan. Jadi pompa informasi merupakan faktor yang menaikkan harga sebuah produk NFT,” terang Firman.